Selasa, 01 Januari 2013

DAAN MOGOT




BAGI warga Jakarta, khususnya Jakarta Barat dan Tangerang, mungkin sudah tak asing lagi dengan nama Jalan Daan Mogot. Sebuah jalan yang menghubungkan wilayah Tangerang dengan Jakarta. Panjang jalan ini mencapai puluhan kilo meter yang membentang dari Grogol hingga Kota Tangerang.

Sebagai akses utama warga Tangerang ke Jakarta dan sebaliknya, jalan ini terbilang ramai. Sejak kehadiran busway, Jalan Daan Mogot semakin ramai bahkan saat ini menjadi salah satu titik kemacetan terparah di Ibu Kota. Siapa sangka jika nama jalan Daan Mogot berasal dari nama seorang pejuang yang tidak pernah tertulis di dalam buku-buku sejarah. Padahal, dia sekaliber dengan tokoh militer Kemal Idris, atau AH Nasution. Kemal Idris merupakan rekan seperjuangannya.

Mayor Daan Mogot memang terkenal dalam sejarah zaman revolusi perang untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Termasuk peristiwa bersejarah pertempuran di hutan Lengkong, Tangerang. Bernama lengkap Elias Daniel Mogot yang lahir di Manado 28 Desember 1928 dari pasangan Nicolas Mogot dan Emilia Inkiriwang. Dia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Pada 1939 ketika berumur 11 tahun, keluarganya pindah dari Manado ke Batavia sekarang Jakarta, dan menempati sebuah rumah di Jalan Cut Meutia, Jakarta Pusat.

Di usia yang tergolong muda yakni 17 tahun, Daan Mogot adalah seorang pejuang dan instruktur dari pasukan Pembela Tanah Air (Peta) di Bali dan Jakarta pada 1942. Pada saat itu sebenarnya usia Daan Mogot belum cukup untuk mengikuti pelatihan Peta, karena pihak Jepang memberikan syarat minimal usia.

Daan Mogot juga pernah menjadi Komandan TKR di Jakarta, bahkan mendirikan Militer Akademi Tangerang (MAT) pada usia 16 tahun. Usia yang masih sangat muda untuk mendirikan dan memimpin sebuah organisasi. Pada saat itu MAT didirikan oleh empat orang yaitu Daan Mogot, Kemal Idris, Daan Yahya, dan Taswin. Pada awal berdirinya, ada 180 calon taruna yang dilatih di MAT. Para taruna berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Dalgaku Jakarta.

Daan Mogot gugur saat bersama pasukan yang dipimpinya melucuti persenjataan Jepang di Hutan Lengkong Tangerang. Peristiwa itu bermula pada 25 Januari 1946, lewat tengah hari sekitar pukul 14.00 WIB, setelah melapor kepada Komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna MAT dan delapan tentara Gurkha.

Selain taruna dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo. Kedua perwira pertama ini adalah perwira polisi tentara (Corps Polisi Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada Sekutu diserahkan ke KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi menuju Jakarta.

Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak serta penuh barikade-barikade, pasukan TKR tersebut tiba di markas Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00 WIB. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa.

Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan taruna MAT diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di luar. Di dalam kantor markas Jepang ini Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena dia mengatakan belum mendapat perintah atasannya tentang perlucutan senjata.

Ketika perundingan berjalan, rupanya Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. Sekitar 40 orang Jepang disuruh berkumpul di lapangan.

Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya. Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak. Serdadu Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya, dan tentara Jepang lainnya yang berbaris di lapangan berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk.

Dalam waktu yang amat singkat berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang antara pihak Indonesia dengan Jepang. Pengalaman tempur yang cukup lama ditunjang dengan persenjataan yang lebih lengkap, menyebabkan taruna MAT menjadi sasaran empuk. Selain senapan mesin yang digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang. Tindakan Mayor Daan Mogot yang segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran. Namun upaya itu tidak berhasil.

Dikatakan bahwa Mayor Daan Mogot bersama rombongan dan anak buahnya meninggalkan asrama tentara Jepang, mengundurkan diri ke hutan karet yang disebut hutan Lengkong. Dalam pertempuran yang terjadi saat itu Mayor Daan mogot tertembak paha kanan dan dadanya. Pada akhirnya Sang Mayor wafat pada usianya yang kurang lebih 17 tahun pada tanggal 25 Januari 1928 di Lengkong Tanggerang.

Dalam peristiwa iitu, 33 taruna dan 3 perwira gugur, 10 taruna luka berat. Mayor Wibowo yang merupakan rekan Daan Mogot dan 20 orang taruna lainnya ditawan. Mereka yang ditawan diperintahkan oleh Jepang untuk membuat liang kubur bagi teman-temannya sendiri. Sementara mereka sendiri entah mau diapakan.

Tanggal 29 Januari 1946 diadakan pemakaman ulang bagi para pahlawan yang gugur di Hutan Lengkong itu. Ada kisah mengharukan ketika pemakaman ini, kekasih Daan Mogot, Hadjari Singgih, memotong rambutnya yang mencapai sepinggang, kemudian potongan rambut itu ikut dikuburkan di liang lahat Daan Mogot. Semenjak itu dia tidak pernah lagi memanjangkan rambutnya.

Untuk memperingati jasa-jasa sang mayor kini dibangun sebuah monumen yang terletak di BSD Tanggerang. Di monumen yang dibangun dengan luas 4.000 meter persegi ini terdapat rumah yang dulu menjadi markas tentara Jepang yang hingga kini masih terawat dengan baik. Kini Monumen Lengkong adalah salah satu dari ratusan monumen yang dibangun untuk memperingati jasa-jasa para pahlawan di Negeri ini. yang selalu diperingati setiap tanggal 25 Januari.

Monumen Lengkong merupakan salah satu saksi bisu mengenai perjuangan para pahlawan yang dengan gigih mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Keberhasilan mempertahankan kemerdekaan bukanlah akhir dari sebuah perjuangan tetapi awal untuk mengisi kemerdekaan yang telah dicapai.

Mengisi kemerdekaan yang bisa dilakukan oleh generasi muda ialah dengan terus membangun bangsa ini dengan menjadikan pengalaman sejarah di masa lalu menjadi sarana introspeksi demi mencapai masa depan bangsa yang lebih gemilang. 

SUMBER : OKEZONE.COM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar